Kedungmaling berasal dari bahasa Jawa, Kedung dan Maling. Secara harfiah Kedung adalah bagian sungai yang mempunyai kedalaman paling dalam (palung). Karena berair paling dalam, Kedung mempunyai ciri khas yaitu airnya tenang, permukaan paling luas dibanding lebar aliran sungai baik di hulu maupun hilirnya serta paling teduh karena ditumbuhi pohon yang besar dan rindang.
Pohon tahun yang biasanya tumbuh di Kedung adalah Beringin dan Iprik atau salah satunya. Kedua pohon tersebut mempunyai sulur yang menjuntai panjang kebawah hingga menyentuh tanah atau permukaan air. Kalaupun bukan kedua pohon tersebut, satu pohon yang biasa tumbuh di Kedung adalah Lo atau Elo. Lo juga mempunyai akar gantung yang kuat, berbuah kecil-kecil bulat, berwarna warni sebesar ujung ibu jari tangan. Buah yang masih muda rasanya “sepet” yang khas dan biasanya digunakan sebagai campuran bumbu rujak.
Ketiga pohon yang biasanya tumbuh di Kedung mempunyai mitos yang sama, yaitu berpenunggu atau tempat tinggal makhluk halus. Hal ini sebenarnya tidak lepas dari bentuk pohon yang berperawakan besar yang menimbulkan kesan seram. Ditambah lagi dengan permukaan batang pohon yang kasar dan beralur-alur, juga akar gantungnya yang menjulur dari cabang-cabangnya ke tanah, semakin menambah kesan seram pohon ini di mata masyarakat.
Pohon Beringin, Iprik dan Lo rata-rata tinggi besar, karena tidak ada orang yang berani menebang pohon tersebut. Kalaupun pohon tersebut mati atau hilang maka bukan karena ditebang melainkan karena tumbang, biasanya pada saat “udan angin”.
Ciri khas lain dari sebuah Kedung, disitu pasti ada sumber mata air sampai membentuk lobang, cerowongan dibawah air dan banyak dihuni ikan.
Sedangkan Maling mempunyai arti : orang yang mempunyai pekerjaan mengambil barang/benda bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Cara mengambilnyapun, pada saat itu dikenal dengan istilah “nggangsir”.
Nganggsir berasal dari kata Gangsir yaitu hewan sebangsa jangkrik namun berukuran lebih besar dari jangkrik dengan suara keras tapi tidak nyaring seperti suara jangkrik, namun seperti menggumam/menderu dan hidupnya dibawah tanah. Sarang dibawah tanah, digali oleh Gangsir dengan menggunakan dua pasang kaki belakang yang kokoh dan berduri tajam yang bekas tanah bekas galiannya menumpuk dan membentuk gundukan kecil menutupi lobang sarangnya.
Karena mudah dikenali, anak-anak kecil jaman dulu juga mempunyai permainan yang mengasyikkan yaitu “nggembong”. Nggembong sendiri dilakukan dengan cara menyingkirkan tanah bekas galian gangsir sehingga terlihat lobang sarang Gangsir kemudian mengisinya dengan air sampai menggenang.
Mengasyikkannya permainan ini adalah menunggu kemunculan Gangsir dari bawah tanah, dimulai dengan adanya gerakan genangan air kemudian munculnya sungut peraba yang panjang dengan kepala yang besar. Setelah muncul beneran tidak banyak anak yang berani memegang langsung si Gangsir, karena kaki belakang yang besar dan berduri cukup menakutkan bagi anak-anak. Kecuali takut “slentikan” yang bisa menimbulkan luka yang berdarah, anak-anak juga takut karena Gangsir juga menggigit.
Kembali ke kata “nganggsir” sebagai cara Maling mengambil barang dari rumah bukan miliknya. Yaitu menggali tanah diluar rumah untuk melewati dinding pembatas rumah dan tembus kedalam rumah. Dari lobang yang digali tersebut Maling akan masuk rumah kemudian mengambil barang-barang didalam rumah yang dianggap berharga.
Anak sekarang jaman sekarang akan sulit membayangkan, bagaimana bisa menggali tanah kemudian bisa masuk rumah, sementara dinding rumah adalah tembok beton dan berdiri diatas pondasi batu kali atau beton juga. Didalam rumah, juga ada lantai keramik.
Rumah kala itu tidak ada yang berkeramik, jangankan berkeramik rumah berlantai plesteranpun masih sangat jarang ditemui. Hampir semua rumah berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu (gedeg) dan tiang-tiang rumah berasal struktur (gerbilan) bambu bongkotan. Bongkotan adalah bagian dari pohon bambu paling bawah dengan ketinggian 2,5-3 meter, biasanya sudah sangat tua sehingga sangat kuat dan kokoh.
Perlu diketahui bahwa dalam memotong/menebang bambu, masyarakat Jawa tidak pernah memotong sampai bawah karena memang sangat sulit, banyak duri dan selang sengkilang pohon bawah yang sulit diurai. Kumpulan sisa pohon bambu bawah yang tidak terpotong (bongkotan), membentuk rumpun yang semakin tahun semakin meluas yang biasa disebut dengan “barongan”.
Karena Maling selalu “nggangsir” dalam melakukan pekerjaannya, maka linggis adalah alat utama mereka dan linggis pula yang dicari bila terdapat Maling yang terpergok untuk dikenali siapa pemilik linggis tersebut. Maling terpergok biasanya juga dikarenakan salah dalam menganggsir, yaitu lobang masuk rumah ternyata tidak diruang kosong tetapi di kamar tidur pemilik rumah.
Pada saat itu, Maling juga diyakini mempunyai ilmu atau kesaktian yang yang luar biasa. Kebal senjata, bisa menghilang, bisa membuat seisi rumah terlelap tidurnya (nyirep). Bahkan Maling paling sakti dikenali dengan sebutan “maling cluring” yaitu maling yang ketika memasuki rumah mangsanya tidak dengan menggali/nggangsir, tetapi melewati sorot cahaya lampu minyak teplok yang menyeruak keluar rumah diantara anyaman bambu (gedeg) dinding rumah yang memang tidak mungkin tertutup rapat, kesuali dilapisi dengan anyaman bambu yang lebih tipis yang disebut “sesek”.
Oleh karena itu, penerangan rumah dilarut malam atau penghuni menjelang tidur, maka lampu teplok diganti dengan oblik, yaitu lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah tanpa “semprong”. Semprong sendiri adalah tabung kaca penutup nyala lampu teplok agar tidak mudah padam karena tertiup angin dan nyala lampu menjadi stabil dan tidak bergoyang-goyang (mobat-mabit).
Dari tulisan diatas, bisa dibayangkan betapa gelap gulitanya suasana dimalam hari, karena sumber penerangan hanya dari oblik yang dinyalakan memang tidak untuk menerangi seisi rumah. Mistisnya Kedung yang disiang hari saja menimbulkan kesan angker, apalagi malam serta kesaktian seorang Maling.
Sedangkan menurut legenda, nama Desa Kedungmaling berasal dari terpergoknya seorang Maling yang dikejar masyarakat dan melarikan serta menceburkan diri kesebuah Kedung dan tidak pernah muncul lagi.
Dalam legenda, tidak diketahui dan disebutkan siapa dan orang dari kampung mana Maling tersebut. Namun Kedung itu sendiri diyakini berada dan menjadi bagian dari Sungai Brangkal yang lokasi tepatnya berada di sebelah timur Kubur Telu.
Menurut administrasi Pemerintahan Desa, Kedung itu masuk wilayah RT 16, RW 06 disebelah timur Rumah Pembantaian Hewan (RPH), sedangkan sisa-sisa keberadaan Kedung itu sendiri saat ini sudah tidak bisa dikenali, karena sungai Brangkal telah beberapa kali di normalisasi dan tanggulnya sudah diplengseng sebagai penahan erosi.
Siapapun orang Jawa yang baru pertama kali mendengar nama Desa Kedungmaling, akan terkejut dan terperangah serta tergambar hal-hal yang berkonotasi negatif, Kedung adalah tempat yang luas atau gudang, Maling adalah pencuri. Kedungmaling adalah gudang pencuri, masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai pencuri dan lain sebagainya dan itu sah-sah saja dan tidak ada salah.
Bahkan warga, tokoh masyarakat, tokoh agama dan Pemerintah Desa sendiripun ditahun 80-an pernah berusaha untuk menghapus konotasi negatif tersebut dengan mengubah nama Desa dari Kedungmaling menjadi Kedungagung.
Agar rencana tersebut berhasil, berbagai upaya administratif telah dilakukan, mulai dari penggantian Papan Nama Balai Desa maupun kop surat menyurat sudah memakai nama Desa Kedungagung, bahkan usulan penggantian nama tersebut sampai ke Menteri Dalam Negeri, namun tidak pernah mendapat persetujuan.
Maka yang dapat dilakukan saat ini untuk mengubah konotasi dan image negatif Kedungmaling bukan dengan mengganti nama Desa, namun upaya-upaya pembangunan fisik sehingga siapapun yang masuk ke Desa Kedungmaling akan terkesan dengan bangunan yang baik, indah dan rapi.
Yang tidak kalah penting adalah pembangunan non fisik yang harus ditingkatkan terus-menerus, karena hasil pembangunan ini adalah tingginya kualitas SDM dari Desa Kedungmaling.
Tingginya kualitas SDM bisa berupa prestasi-prestasi individual yang berhasil diukir, kegiatan-kegiatan warga yang memperoleh pengakuan dan penghargaan, produk dan hasil kegiatan perekonomian yang berkualitas, sikap dan karakter yang bisa mencadi contoh dan menginspirasi dll.
Sumber : kedungmaling.desa.id
